Makam Keramat Situ Lengkong Panjalu

Keindahan danau (situ) dalam bahasa sunda, yang terletak di Kecamatan Panjalu, Ciamis, Jawa Barat terkenal dengan pesona alam yang menyejukkan sehingga membuat para wisatawan sangat menikmati dengan penuh kegembiraan.
Berbeda dengan tempat wisata lainnya, Situ Lengkong Panjalu ini tidak hanya menikmati keindahan alam nya saja, tetapi di sini wisata sambil berziarah, mengunjungi makam Prabu Hariang Kancana yang dahulunya merupakan tokoh Raja Panjalu. Makam Prabu Hariang Kancana merupakan tempat peristirahatan terbaik yang bisa diperoleh seorang penyiar awal agama Islam, Pasundan. Bayangkan saja, jasadnya tertanam di pulau kecil yang bernama Nusa Gede.

Keistimewaan Situ Panjalu yaitu dikeliling dengan vegetasi yang cukup lebat sehingga debit air situ selalu terjaga. Air situ yang menurut babad Panjalu berasal dari mata air zam-zam di Mekah berwarna kehijauan bak zamrud. Dengan pemandangan alam yang indah, udara yang sejuk, Situ Lengkong Panjalu menjadi tempat yang nyaman untuk berlibur. Situ Lengkong merupakan tempat  yang menarik untuk hunting landscape maupun hunting human interest, bagi para penggemar fotografi.

Larangan dan Pantangan Perjalanan
Nia dan teman-teman dari SMA Negeri 3 Ciamis untuk sampai ke makam Prabu Hariang Kancana, terlebih dahulu harus  menyeberangi situ dengan menaiki perahu yang terdapat di dermaga Situ Lengkong. Nusa Gede berada tepat di tengah Situ Lengkong, jadi perahu akan mengantar kita dengan memutari pulau seluas 16.5 hektare itu searah jarum jam. Dengan kata lain jalur pergi dan pulang tidak akan sama.

Sebagai tempat yang dikeramatkan, ada beberapa larangan atau pantangan yang dipercayai oleh masyarakat sekitar Situ Lengkong. Wandi Mulyadi sebagai Pramuwisata berkata “kalian tidak boleh mengatakan kalong pada saat melihat kelelawar besar di sekitar area yang dikeramatkan dan juga tidak boleh mengatakan batok.”
Entah apa maksud dari semua larangan ini, tentu ada cerita masyarakat yang menyimpan mitos atau misteri. “Kenapa ya, kok jadi penasaran begini?” raut wajah Nia dengan mengerutkan kening. 
Sikap dan sopan santun saat menaiki perahu ke pulau makam keramat  itu untuk berziarah, benar-benar patut diperhatikan. Dipercayai jika salah satu dari pantangan atau larangan tersebut dilanggar, maka akan terjadi malapetaka, konon kabarnya sudah ada yang terjadi.

Setibanya setelah perjalanan, Nia dan teman-teman turun dari perahu untuk naik ke dermaga, dan disambut gapura hijau yang diapit oleh dua prasasti berbahasa sunda. Di atas nya duduk sepasang naga, dan di bawah ada patung harimau kembar. Dua jenis fauna ini terkait dengan mitos sejarah kerajaan Panjalu. Menuju makam harus melewati anak tangga yang cukup tinggi sehingga membuat napas menjadi tak karuan.

Aura Mistis Muncul
Tak lama kemudian sesampainya di atas ujung anak tangga, Nia pun segera menuju gazebo yang terletak di depan makam Prabu Hariang Kancana. Makam ini dipenuhi oleh peziarah dari berbagai daerah. Sungguh terharu dan kagum melihat ketakziman mereka berdoa. Ketika duduk di karpet, Nia merasakan  aura mistis di tempat itu. Ditambah lagi dengan iringan doa dan selawat yang tak putus-putus dari berbagai arah, cahaya matahari yang samar karena rimbunnya pepohonan, bohong saja kalau seluruh bulu kulit tak merinding. Banyak yang bilang konon katanya masyarakat sekitar makam Prabu Hariang Kancana ialah makam yang sangat keramat di Nusa Gede.
“ masih merasakan aura mistis ngga ?” tanya Rifa kepada Nia. 

            “Semakin lama terasa disini, semakin terasa sekali Rif. Kita sekarang masih duduk pun sambil memegang kitab suci Al-Quran terbayang-bayang konon dahulu Prabu Hariang Kancana, terbayang bagaimana perjuangannya untuk menyebarkan kebaikan yaitu menyebarkan agama Islam kepada rakyatnya hingga sekarang,” dengan lirih suaranya.

Untuk menghormati  leluhur Panjalu, maka sampai saat ini warga keturunan Panjalu biasa melaksanakan upacara adat yang disebut Nyangku.  Acara ini dilaksanakan setiap Bulan Maulud dengan cara membersihkan benda-benda pusaka yang disimpan di Bumi Alit.  Bumi Alit (rumah kecil) dalam bahasa sunda, merupakan sejenis museum yang dijadikan tempat untuk menyimpan benda-benda bersejarah peninggalan Kerajaan Panjalu. Di Bumi Alit ini terdapat pedang pusaka yang diberikan Sahabat Rasululloh, Sayyidan Ali RA, kepada Prabu Sanghyang Borosngora. Selain pedang, terdapat juga pusaka lain seperti cis semacam dwisula, keris, kujang, gong kecil, bangbareng dan lainnya.

Sebagai bekas peninggalan kerajaan, banyak ditemukan penermuan-penemuan sejarah. Penemuan data-data kepurbakalaan, nilai- nilai sosial kultural serta jejak kesejahteraan lainnya hingga kini masih dilestarikan. Penemuan ini juga menunjukan pentingnya daerah Panjalu sebagai cikal bakal kerajaan Sunda Kawali. Seiring dengan waktu, maka Panjalu berkembang menjadi destinasi wisata, baik wisata alam, wisata budaya maupun sebagai wisata ziarah. 

Harapan Nia untuk segala hal apapun yang telah terjadi pada zaman dahulu, sebagai penerus umatnya harus bisa saling menjaga dengan sikap positif yang ada dalam pendirian masing-masing. Yakin dan percaya bahwa perjuangan kehidupan tokoh Islam sebelum kita lahir semua itu nyata dan telah terjadi. Dan hal yang paling terpenting adalah “Jika engkau tak melihatnya, maka teruslah beribadah dengan sebaik-baiknya, sebab dia melihatmu.” (EniKurniawan/PNJ)

Komentar

Postingan Populer