Merengkuh Jiwa “Bhinneka Tunggal Ika”

Saat ini, sikap terbelah masyarakat akibat berbagai perbedaan berdasar unsur-unsur primordial  berpotensi memicu konflik, kekerasan fisik dan luka batin. Pilkada DKI pada 2017, telah mengoyak masyarakat secara mendalam dan berkelanjutan karena tidak ada pihak yang menginisiasi proses rekonsiliasi.

Menurut saya, tanda-tanda mengarah ke Isu SARA pada Pilkada Serentak 2018 mulai terlihat. Kadang saking asiknya kontestasi politik dalam rangka pemenangan, menjadi lupa, bahkan mempersekusi orang lain, termasuk mendiskriminasi kelompok tertentu, dan saatnya sebagian masyarakat agar tetap menciptakan isu-isu kedamaian menjelang Pilkada dan Pilpres di Indonesia. Karena bukan waktunya bagi anak bangsa untuk saling bertikai, sekarang saatnya untuk bersatu membangun bangsa Indonesia, demi tercapainya cita-cita dan kesejahteraan rakyat.

  Upaya membelah masyarakat tidak terhenti setelah pilkada 2017. Media sosial tetap gencar menyebar kebencian dan intoleransi. Sementara itu, kita sering diyakinkan bahwa perbedaan harus disyukuri dan bisa diolah secara produktif untuk menjadi kekuatan. Namun, bagaimana mewujudkannya?

Dunia pendidikan memiliki peran dan fungsi strategis dalam membentuk karakter siswa dan bangsa sehingga menjadi pilihan untuk menanamkan kesetaraan dari Pancasila dan demokrasi. Sekolah harus mengajarkan dan dikelola dengan merangkul  keberagaman (inklusif) sehingga siswa menyikapi perbedaan penuh kecintaan.

Kita diwarisi filosofi Bhinneka Tunggal Ika Tan Hana Dharma Mengrwa yang dilembagakan dalam tata pemerintahan dan menjadi ideologi Majapahit. Jaminan kebebasan beragama ini mampu meredam konflik internal antara pemeluk agama Buddha dan Syiwa, sehingga dengan persatuan Majapahit bisa membangun imperium dunia di abad 14. 

Filosofi tersebut indah karena tidak hanya menjamin kesetaraan dalam kebhinekaan agama, tetapi juga suku, ras maupun golongan di Indonesia, karena agama sering melekat dengan ketiganya. Konsep pendirian negara bangsa (nation state) oleh Sukarno menegaskan asas kesetaraan dalam ketatanegaraan, di mana setiap orang dijamin berkedudukan sama di hadapan hukum. Ini menguatkan konsensus pendiri bangsa sebelumnya bahwa Pancasila yang berjiwa inklusif sebagasi dasar NKRI.

 Prinsip Ketuhanan Yang Maha Esa dari Pancasila merupakan konseptualisasi dari kebebasan beragama di Indonesia. Karena setiap sila saling menjiwai, maka merangkul kemanusiaan, membangun persatuan, berdemokrasi, dan mewujudkan keadilan sosial adalah wujud ekspresi religiusitas (pengabdian terhadap agama) dan bangsa. 

Kebhinekaan Indonesia dibanggakan tetapi belum dilembagakan sepenuhnya karena komunikasi sering hanya berlangsung dalam komunitas masing-masing. Kalaupun berlangsung komunikasi lintas komunitas, sering kali itu hanya seremonial karena prasangka dan curiga masih mendominasi alam pikiran kita. Interaksi antar-warga negara dengan mindset silo (terisolasi) akan gagal mewujudkan motto "kebhinekaan adalah anugerah" karena gagal menjadikannya sebagai modal sosial yang produktif. Kita perlu melembagakan kebhinekaan ke dalam sistem-sistem sosial agar dapat menciptakan kecerdasan kewarganegaraan terutama di sistem pendidikan kita.

Sekolah multikultural 
Menurut saya, pengelolaan sekolah multikultural terbukti bisa mengantar pembentukan watak siswa yang mampu menghargai martabat kemanusiaan masing-masing tanpa terganggu sekat-sekat SARA. Sekolah sepatutnya merengkuh kebhinekaan dengan tulus, agar bisa membentuk siswa yang adil dan tidak diskriminatif.

Para siswa sekolah-sekolah multikultural tidak saja merasakan perubahan personal (IQ, EQ, SQ) tetapi juga kecerdasan kelompok, publik, ataupun masyarakat. Persatuan dan gotong royong bisa diwujudkan karena ada syarat-syarat yang terpenuhi, yaitu toleransi, tenggang rasa, saling hormat sebagai wujud saling menerima, dan memberi berdasar prinsip kesetaraan dalam kebhinekaan. 

Jadi inilah Pancasila bisa dimulai dengan upaya inklusif yang mudah dan sederhana. Empat belas SMA Al Izhar dan Kanisius bersama membentuk kelompok RagaMuda dan kampanye Pluralisme di sosial media. Sambutan hangat, kampanye toleransi yang semula untuk DKI pasca-pilkada disambut netizen seluruh Nusantara. Pengalaman penyelenggaraan pendidikan multikultural diharapkan mampu menginspirasi untuk melakukan hal positif. Momentum telah tiba karena sejatinya Kurikulum 2013 adalah bertujuan sama, yaitu Pembentukan karakter berdasarkan Pancasila.

Komentar

Postingan Populer